Pengalaman
menunjukkan, bahwa secara umum pembangunan masyarakat desa yang dilakukan di
desa melalui sektoral mempunyai strategi atau pendekatan yang berbeda-beda.
Demikian pula pembangunan dalam sektor pertanian melakukan hal yang sama yaitu pendekatan
sub-sektoral. Nasikun dalam Leibo (1995: 97) mengatakan bahwa adanya berbagai
strategi atau pendekatan organisasional pembangunan masyarakat desa barangkali merupakan
indikasi yang paling jelas, oleh karena strategi-strategi tersebut terbukti
telah berkembang lebih di atas dasar akumulasi pengertian keilmuan yang mantap.
Praktek-praktek pembangunan
masyarakat pertanian di pedesaan yang kita kenal selama ini sangat hegemoni
yang berparadigma tunggal, yaitu paradigma “struktural fungsional”. Pembangunan
masyarakat pertanian yang berparadigma tunggal menggunakan pendekatan teori
demokrasi liberal barat, merupakan kesalahan fatal bila diterapkan di Indonesia
yang memiliki keanekaragaman budaya lokal, serta sistem sosial-politik dan
demokrasi yang labil. Praktik pembangunan masyarakat pedesaan yang berparadigma
tunggal, bukan tidak mungkin telah melahirkan ketergantungan-ketergantungan
masyarakat pedesaan seperti pemberian bantuan modal petani, baik yang berupa
kredit dan subsidi maupun bantuan hibah. Berdasarkan pengalaman proyek-proyek
pembangunan berupa kredit dan subsidi maupun bantuan hibah, proyek-proyek
pembangunan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, serta
kesejahteraan masyarakat seperti proyek pengembangan perkebunan rakyat,
perluasan areal tanam dan lain-lain memberikan hibah untuk tahun pertama, lalu
kemudian pada tahun-tahun berikutnya bantuan diberikan dalam bentuk kredit. Merupakan
suatu anggapan keliru bila bentuk bantuan tersebut diartikan sebagai suatu pemberdayaan
masyarakat petani.
Perumusan strategi atau pendekatan pembangunan
masyarakat yang direncanakan
tidak
hanya diturunkan dari orientasi-orientasi filosofikal yang menjadi landasannya,
akan tetapijuga berdasarkan pengalaman empirik (Nasikun dalam Leibo, 1995).
Perumusan strategi dengan landasan filosofikal dan pengalaman empirik itupun
belum menjamin keberhasilannya, apabila bukan merupakan perencanaan
partisipatif (participatory planning). Strategi-strategi pembangunan
pertanian (masyarakat pedesaan) yang dilakukan selama ini hanya sebatas menganjurkan
strategi perubahan masyarakat berdasarkan partisipasi luas, akan tetapi tidak pernah
dilakukan, meskipun pendekatan pembangunan masyarakat adalah gotong royong. Partisipasi
luas yang digalakkan tersebut tidak jarang disertai dengan pemaksaan “halus” (Koentjaraningrat,
1985: 97-105) membedakan partisipasi dalam bentuk aktifitas-aktivitas bersama
dalam proyek-proyek pembangunan yang khusus; kedua partisipasi individu di luar
aktivitas bersama dalam pembangunan.
Kedua tipe partisipasi yang
digambarkan oleh Koenjaraningrat merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam
pembangunan, dimana program pembangunan atau proyek yang telah direncanakan di
tingkat pusat tanpa melibatkan masyarakat mulai dari diagnosis masalah dan
potensi sumber daya, perencanaan program dan pelaksanaan. Sebagaimana yang telah
disinggung di atas, bahwa perumusan strategi pembangunan dalam rangka otonomi daerah
harus sarat dengan partisipasi. Partisipasi yang dimaksudkan berbeda dengan
yang diuraikan Koentjaraningrat, yaitu melibatkan masyarakat desa secara luas
dalam pengambilan keputusan-keputusan, mulai dari diagnosis masalah,
identifikasi potensi sumber daya, perencanaan program dan penentuan program yang
diusulkan hingga ke tingkat daerah, dan sampai pada pelaksanaan program
pembangunan serta pengawasan dan evaluasi.
Namun demikian, pemerintah tetap sebagai
kontrol sehingga perencanaan pembangunan yang bottom-up tidak melenceng dari
tujuan pembangunan. Pembangunan masyarakat yang direncanakan dari bawah harus menyentuh
seluruh masyarakat, dan bukan untuk golongan tertentu. Untuk mengatasi adanya perbedaan-perbedaan,
maka perlu dibentuk suatu institusi atau lembaga yang terintegrasi secara normatif
pada kondisi yang kompleks secara keseluruhan di berbagai tingkat pelayanan
dalam suatu sistem pemerintahan (Parsons, 1964: 76).
Nasikun dalam Leibo (1995) menglasifikasikan
strategi-strategi organisasional pembangunan masyarakat desa menjadi empat strategi
yang berlandaskan pendekatan teoritis,yaitu:
1.
Strategi pembangunan gotong royong
2.
Strategi teknikal professional.
3.
Strategi konflik, dan
4.
Strategi pembelotan kultural.
Strategi pembangunan gotong royong asumsi
dasarnya adalah paradigma struktural fungsional, dimana strategi ini melibatkan
masyarakat sebagai suatu “sistem sosial” yang terdiri atas bagian-bagian
terintegrasi secara normatif, dimana tiap-tiap bagian memberikan sumbangan
fungsional masing-masingnya bagi pencapaian tujuan masyarakat secara keseluruhan.
Demikian pula strategi pembangunan teknikal profesional, bahwa asumsi-asumsi
yang melandasi strategi ini tidak berbeda dengan asumsi yang mendasari strategi
pembangunan gotong royong. Strategi pembangunan teknikal profesional memandang masyarakat
sebagai suatu sistem hubungan sosial yang semakin kompleks, dengan
struktur-struktur serta proses-proses kemasyarakatan yang semakin modern.
Telah diuraikan di atas bahwa pembangunan
suatu pertanian juga diwarnai oleh ego sub sektoral, lemahnya koordinasi, dan integrasi
antar sub-sektoral serta konsep pemberdayaan masyarakat yang berbeda turut mempengaruhi
pola pendekatan pembangunan masyarakat yang digunakan. Berdasarkan fenomena
tersebut, sesuai dengan pendapat Nasikun (Leibo, 1995: 111) mengenai perlunya suatu
strategi pembangunan berparadigma ganda, yaitu suatu integrasi atau sintesis
dari berbagai strategi pembangunan. Strategi yang diusulkan ini secara teoritik
sangat realistik, namun yang dilupakan Nasikun bahwa di Indonesia terdapat pola
tani yang heterogen, kondisi agroekologi dan agroklimat, kondisi sosial budaya,
dan kearifan lokal yang beraneka ragam.
Dalam rangka pemberlakuan otonomi daerah,
maka terjadi pergeseran paradigma kebijaksanaan dan manajemen pembangunan sektoral
serta penerapannya. Untuk sektor pertanian, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan
Pemerintah Provinsi sebagai daerah otonom di bidang pertanian, yang meliputi
aspekaspek kebijakan non teknis kelembagaan dalam pelaksanaannya berikut
hirarki yang memiliki wewenang untuk mengimplementasikan.
Menurut Suradisastra (2000) dalam implementasi
otonomi daerah sesuai dengan penerapan PP No 25/2000, pada sektor pertanian akan
terjadi perubahan paradigma yang salah satunya adalah sentralisasi, akan
berubah menjadi desentralisasi dalam konteks pengelolaan wilayah, keuangan, dan
proses pengambilan keputusan. Pola pikir dan manajemen berorientasi pusat akan
bergeser menjadi pola pikir dan manajemen pengambilan keputusan yang bersifat
spesifik wilayah, baik secara teknis dan ekonomis maupun secara sosiokultural, sehingga
proses pengambilan keputusan akan melibatkan seluruh komponen pembangunan termasuk
masyarakat adat. Melibatkan masyarakat adat yang berperan dalam pengolahan sumber
daya pertanian tradisional, mampu menghindarkan timbulnya rural exodus syndrome.
Strategi pembangunan berparadigma ganda
yang diusulkan Nasikun sangat sesuai untuk diterapkan dalam perumusan strategi pembangunan
masyarakat desa. Namun demikian strategi tersebut masih perlu disentesiskan
lagi berdasarkan keragaman sosial budaya masyarakat setempat. Seluruh komponen
pembangunan dituntut untuk mengembangkan suatu sistem komunikasi yang terbuka
sehingga dapat menghindari berkembangnya berbagai kelompok dan kepentingan.
Pergeseran paradigma pembangunan sektoral
dan kemungkinan dampak dari implementasi PP 25/2000, serta penerapan strategi
pembangunan berparadigma ganda terhadap pembangunan daerah otonom, tentu akan
menimbulkan perbedaan persepsi atas misi dan visi pembangunan masyarakat
pertanian di pedesaan sehingga diperlukan antisipasi sejak dini.
Sebagai bentuk antisipasi terhadap dampak
aplikasi strategi pembangunan yang direncanakan dari bawah, perlu dibentuk
suatu badan perwakilan desa sesuai dengan pasal 104 UU No. 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang anggotanya terdiri dari berbagai komponen masyarakat,
termasuk masyarakat adat, kelompok kepentingan, dan aparat pemerintah. Badan Perwakilan
Desa ini berfungsi penggerak integrasi dari berbagai komponen masyarakat, mengayomi
masyarakat adat, membuat peraturan desa, menampung, dan menyalurkan berbagai aspirasi
masyarakat, melakukan pengawasan, ikut
serta
dalam pelaksanaan pembangunan, penyelenggaraan pemerintah desa, serta mengajukan
pertimbangan-pertimbangan lain kepada pemerintah daerah kepada tingkat yang lebih
tinggi.