Jumat, 10 Mei 2019

Strategi pembangunan pertanian

0 komentar


            Pengalaman menunjukkan, bahwa secara umum pembangunan masyarakat desa yang dilakukan di desa melalui sektoral mempunyai strategi atau pendekatan yang berbeda-beda. Demikian pula pembangunan dalam sektor pertanian melakukan hal yang sama yaitu pendekatan sub-sektoral. Nasikun dalam Leibo (1995: 97) mengatakan bahwa adanya berbagai strategi atau pendekatan organisasional pembangunan masyarakat desa barangkali merupakan indikasi yang paling jelas, oleh karena strategi-strategi tersebut terbukti telah berkembang lebih di atas dasar akumulasi pengertian keilmuan yang mantap.
            Praktek-praktek pembangunan masyarakat pertanian di pedesaan yang kita kenal selama ini sangat hegemoni yang berparadigma tunggal, yaitu paradigma “struktural fungsional”. Pembangunan masyarakat pertanian yang berparadigma tunggal menggunakan pendekatan teori demokrasi liberal barat, merupakan kesalahan fatal bila diterapkan di Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya lokal, serta sistem sosial-politik dan demokrasi yang labil. Praktik pembangunan masyarakat pedesaan yang berparadigma tunggal, bukan tidak mungkin telah melahirkan ketergantungan-ketergantungan masyarakat pedesaan seperti pemberian bantuan modal petani, baik yang berupa kredit dan subsidi maupun bantuan hibah. Berdasarkan pengalaman proyek-proyek pembangunan berupa kredit dan subsidi maupun bantuan hibah, proyek-proyek pembangunan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, serta kesejahteraan masyarakat seperti proyek pengembangan perkebunan rakyat, perluasan areal tanam dan lain-lain memberikan hibah untuk tahun pertama, lalu kemudian pada tahun-tahun berikutnya bantuan diberikan dalam bentuk kredit. Merupakan suatu anggapan keliru bila bentuk bantuan tersebut diartikan sebagai suatu pemberdayaan masyarakat petani.
            Perumusan strategi atau pendekatan pembangunan masyarakat yang direncanakan
tidak hanya diturunkan dari orientasi-orientasi filosofikal yang menjadi landasannya, akan tetapijuga berdasarkan pengalaman empirik (Nasikun dalam Leibo, 1995). Perumusan strategi dengan landasan filosofikal dan pengalaman empirik itupun belum menjamin keberhasilannya, apabila bukan merupakan perencanaan partisipatif (participatory planning). Strategi-strategi pembangunan pertanian (masyarakat pedesaan) yang dilakukan selama ini hanya sebatas menganjurkan strategi perubahan masyarakat berdasarkan partisipasi luas, akan tetapi tidak pernah dilakukan, meskipun pendekatan pembangunan masyarakat adalah gotong royong. Partisipasi luas yang digalakkan tersebut tidak jarang disertai dengan pemaksaan “halus” (Koentjaraningrat, 1985: 97-105) membedakan partisipasi dalam bentuk aktifitas-aktivitas bersama dalam proyek-proyek pembangunan yang khusus; kedua partisipasi individu di luar aktivitas bersama dalam pembangunan.
            Kedua tipe partisipasi yang digambarkan oleh Koenjaraningrat merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dimana program pembangunan atau proyek yang telah direncanakan di tingkat pusat tanpa melibatkan masyarakat mulai dari diagnosis masalah dan potensi sumber daya, perencanaan program dan pelaksanaan. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa perumusan strategi pembangunan dalam rangka otonomi daerah harus sarat dengan partisipasi. Partisipasi yang dimaksudkan berbeda dengan yang diuraikan Koentjaraningrat, yaitu melibatkan masyarakat desa secara luas dalam pengambilan keputusan-keputusan, mulai dari diagnosis masalah, identifikasi potensi sumber daya, perencanaan program dan penentuan program yang diusulkan hingga ke tingkat daerah, dan sampai pada pelaksanaan program pembangunan serta pengawasan dan evaluasi.
            Namun demikian, pemerintah tetap sebagai kontrol sehingga perencanaan pembangunan yang bottom-up tidak melenceng dari tujuan pembangunan. Pembangunan masyarakat yang direncanakan dari bawah harus menyentuh seluruh masyarakat, dan bukan untuk golongan tertentu. Untuk mengatasi adanya perbedaan-perbedaan, maka perlu dibentuk suatu institusi atau lembaga yang terintegrasi secara normatif pada kondisi yang kompleks secara keseluruhan di berbagai tingkat pelayanan dalam suatu sistem pemerintahan (Parsons, 1964: 76).
            Nasikun dalam Leibo (1995) menglasifikasikan strategi-strategi organisasional pembangunan masyarakat desa menjadi empat strategi yang berlandaskan pendekatan teoritis,yaitu:
1. Strategi pembangunan gotong royong
2. Strategi teknikal professional.
3. Strategi konflik, dan
4. Strategi pembelotan kultural.
            Strategi pembangunan gotong royong asumsi dasarnya adalah paradigma struktural fungsional, dimana strategi ini melibatkan masyarakat sebagai suatu “sistem sosial” yang terdiri atas bagian-bagian terintegrasi secara normatif, dimana tiap-tiap bagian memberikan sumbangan fungsional masing-masingnya bagi pencapaian tujuan masyarakat secara keseluruhan. Demikian pula strategi pembangunan teknikal profesional, bahwa asumsi-asumsi yang melandasi strategi ini tidak berbeda dengan asumsi yang mendasari strategi pembangunan gotong royong. Strategi pembangunan teknikal profesional memandang masyarakat sebagai suatu sistem hubungan sosial yang semakin kompleks, dengan struktur-struktur serta proses-proses kemasyarakatan yang semakin modern.
            Telah diuraikan di atas bahwa pembangunan suatu pertanian juga diwarnai oleh ego sub sektoral, lemahnya koordinasi, dan integrasi antar sub-sektoral serta konsep pemberdayaan masyarakat yang berbeda turut mempengaruhi pola pendekatan pembangunan masyarakat yang digunakan. Berdasarkan fenomena tersebut, sesuai dengan pendapat Nasikun (Leibo, 1995: 111) mengenai perlunya suatu strategi pembangunan berparadigma ganda, yaitu suatu integrasi atau sintesis dari berbagai strategi pembangunan. Strategi yang diusulkan ini secara teoritik sangat realistik, namun yang dilupakan Nasikun bahwa di Indonesia terdapat pola tani yang heterogen, kondisi agroekologi dan agroklimat, kondisi sosial budaya, dan kearifan lokal yang beraneka ragam.
            Dalam rangka pemberlakuan otonomi daerah, maka terjadi pergeseran paradigma kebijaksanaan dan manajemen pembangunan sektoral serta penerapannya. Untuk sektor pertanian, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Pemerintah Provinsi sebagai daerah otonom di bidang pertanian, yang meliputi aspekaspek kebijakan non teknis kelembagaan dalam pelaksanaannya berikut hirarki yang memiliki wewenang untuk mengimplementasikan.
            Menurut Suradisastra (2000) dalam implementasi otonomi daerah sesuai dengan penerapan PP No 25/2000, pada sektor pertanian akan terjadi perubahan paradigma yang salah satunya adalah sentralisasi, akan berubah menjadi desentralisasi dalam konteks pengelolaan wilayah, keuangan, dan proses pengambilan keputusan. Pola pikir dan manajemen berorientasi pusat akan bergeser menjadi pola pikir dan manajemen pengambilan keputusan yang bersifat spesifik wilayah, baik secara teknis dan ekonomis maupun secara sosiokultural, sehingga proses pengambilan keputusan akan melibatkan seluruh komponen pembangunan termasuk masyarakat adat. Melibatkan masyarakat adat yang berperan dalam pengolahan sumber daya pertanian tradisional, mampu menghindarkan timbulnya rural exodus syndrome.
            Strategi pembangunan berparadigma ganda yang diusulkan Nasikun sangat sesuai untuk diterapkan dalam perumusan strategi pembangunan masyarakat desa. Namun demikian strategi tersebut masih perlu disentesiskan lagi berdasarkan keragaman sosial budaya masyarakat setempat. Seluruh komponen pembangunan dituntut untuk mengembangkan suatu sistem komunikasi yang terbuka sehingga dapat menghindari berkembangnya berbagai kelompok dan kepentingan.
            Pergeseran paradigma pembangunan sektoral dan kemungkinan dampak dari implementasi PP 25/2000, serta penerapan strategi pembangunan berparadigma ganda terhadap pembangunan daerah otonom, tentu akan menimbulkan perbedaan persepsi atas misi dan visi pembangunan masyarakat pertanian di pedesaan sehingga diperlukan antisipasi sejak dini.
            Sebagai bentuk antisipasi terhadap dampak aplikasi strategi pembangunan yang direncanakan dari bawah, perlu dibentuk suatu badan perwakilan desa sesuai dengan pasal 104 UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang anggotanya terdiri dari berbagai komponen masyarakat, termasuk masyarakat adat, kelompok kepentingan, dan aparat pemerintah. Badan Perwakilan Desa ini berfungsi penggerak integrasi dari berbagai komponen masyarakat, mengayomi masyarakat adat, membuat peraturan desa, menampung, dan menyalurkan berbagai aspirasi masyarakat, melakukan pengawasan, ikut
serta dalam pelaksanaan pembangunan, penyelenggaraan pemerintah desa, serta mengajukan pertimbangan-pertimbangan lain kepada pemerintah daerah kepada tingkat yang lebih tinggi.

Leave a Reply