Jumat, 10 Mei 2019

Hidroponik

0 komentar


Hidroponik atau istilah asingnya hydroponics, berasal dari bahasa Yunani. Kata tersebut berasal dari gabungan dua kata yaitu hydro yang artinya air dan ponos yang airnya bekerja, budidaya hidroponik artinya bekerja dengan air yang lebih dikenal dengan sistem bercocok tanam tanpa tanah, dalam hidroponik hanya dibutuhkan air yang ditambahkan nutrient sebagai sumber makanan bagi tanaman (Irawan, 2003).
Menurut Raffar (1993), sistem hidroponik merupakan cara produksi tanaman yang sangat efektif. Sistem ini dikembangkan berdasarkan alasan bahwa jika tanaman diberi kondisi pertumbuhan yang optimal, maka potensi maksimum untuk berproduksi dapat tercapai. Hal ini berhubungan dengan pertumbuhan sistem perakaran tanaman, dimana pertumbuhan perakaran tanaman yang optimum akan menghasilkan pertumbuhan tunas atau bagian atas yang sangat tinggi. Pada sistem hidroponik, larutan nutrisi yang diberikan mengandung komposisi garam-garam organik yang berimbang untuk menumbuhkan perakaran dengan kondisi lingkungan
perakaran yang ideal.
Perkembangan hidroponik di Indonesia masih sangat terbatas karena masih dipandang sebagai suatu teknologi yang memerlukan biaya mahal. Namun hasil observasi secara umum memberikan gambaran sementara bahwa status pertanian hidroponik di Indonesia menunjukkan perkembangan cukup baik, walaupun kontribusi terhadap produksi total buah/sayur relatif masih kecil (Subhan, 2002). Menurut Lingga (2005) budidaya tanaman secara hidroponik memiliki keuntungan yaitu : (1) dapat dilakukan pada ruang atau tempat yang terbatas dan higienis, (2) apabila dilakukan di rumah kaca dapat diatur suhu dan kelembabannya, (3) nutrien yang diberikan digunakan secara efisien oleh tanaman, (4) produksi tanaman lebih tinggi dibandingkan menggunakan media tanam tanah biasa, (5) kualitas tanaman yang dihasilkan lebih bagus dan tidak kotor, (6) tanaman memberikan hasil yang kontinu.
Adapun kelebihan dan kekurangan sistem hidroponik menurut Del Rosarios,
1990 antara lain adalah :
Kelebihan sistem hidroponik, antara lain:
1.                  Penggunaan lahan lebih efisien.
2.                  Tanaman berproduksi tanpa menggunakan tanah.
3.                  Tidak ada resiko untuk penanaman terus menerus sepanjang tahun.
4.                  Kuantitas dan kualitas produksi lebih tinggi dan lebih bersih.
5.                  Penggunaan pupuk dan air lebih efisien.
6.                  Periode tanam lebih pendek.
7.                  Pengendalian hama dan penyakit lebih mudah.

Continue reading →

Syarat dan Prosedur karantina Tumbuhan

0 komentar


Standar Operasional Prosedur Pelayanan Pemasukan
1.      Pengguna jasa mengisi formulir permohonan pemeriksaan karantina (PPK) / KH-01 disertai dengan kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan. Bagi pengguna jasa yang sudah memiliki registrasi PPK on line dapat mengajukan permohonan pemeriksaan karantina melalui media elektronik tanpa harus datang ke Unit pelayanan Karantina Pertanian. Pengguna jasa yang menggunakan PPK on linecukup datang pada saat menyerahkan dokumen asli setelah ketentuan persyaratan secara elektronik terpenuhi.
2.      Operator menginput data dan merekam Permohonan pemeriksaan karantina dalam buku agenda.
3.      Operator menyerahkan permohonan pemeriksaan karantina kepada Supervisor
4.      Supervisor   menganalisa, menyusun dan menugaskan personel sesuai dengan jenjang jabatan pejabat fungsional dengan menerbitkan Surat Penugasan (KH-2).
5.      Pejabat fungsional melakukan penyiapan bahan, peralatan dan fasilitas pelayanan yang diperlukan dalam penyelenggaraan tindakan karantina.
6.      Pejabat fungsional yang diberi surat penugasan melaksanakan pemeriksaan dokumen dan fisik. Pemeriksaan dokumen dilakukan untuk mengetahui kelengkapan, keabsahan dan kebenaran isi dokumen, selanjutnya dilakukan verifikasi terhadap kebenaran isi dokumen melalui pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik juga dilakukan untuk mendeteksi Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK). Pemeriksaan fisik dapat dilakukan, diatas alat angkut dan pintu pemasukan (entrypoint).
7.      Apabila pemeriksaan fisik tidak dapat dilakukan diatas alat angkut maupun di pelabuhan udara/laut maka pemeriksaan dapat dilakukan di instalasi karantina hewan.
8.      Apabila pemeriksaan dokumen dan fisik diatas alat angkut pejabat fungsional tidak menemukan adanya penyakit hewan menular utama (penyakit golongan I) dan berasal dari negara yang tidak dilarang pemasukannya maka pejabat fungsional menandatangani Surat Persetujuan Bongkar (KH-05), atas disposisi Supervisor.
9.      Setelah menerbitkan persetujuan bongkar, maka pejabat fungsional menandatangani Surat Perintah Masuk Karantina (KH-07) untuk pemeriksaan lebih lanjut terhadap media pembawa hama penyakit hewan atas disposisi supervisor.
10.  Untuk media pembawa yang telah dilakukan pemeriksaan diatas alat angkut atau pintu masuk pelabuhan udara/laut dan telah memenuhi prosedur dan persyaratan serta menjamin kesehatan dan sanitasi yang baik maka pejabat fungsional dapat langsung menerbitkan sertifikat pembebasan (KH-12) atas disposisi Supervisor.
11.  Media pembawa yang masuk instalasi karantina hewan selama pengasingan, maka pejabat fungsional dapat melakukan pengamatan, pengambilan sampel dan spesimen untuk pengujian laboratorium serta dapat dilakukan tindakan perlakuan.
12.  Lamanya waktu pengasingan bergantung pada lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pengamatan, pemeriksaan dan perlakuan terhadap media pembawa mengacu pada standar waktu pelayanan yang telah ditetapkan.
13.  Bilamana media pembawa selama pengasingan dan setelah dilakukan pengamatan, pengujian laboratorium serta dilakukan tindakan perlakuan, pejabat fungsional dapat menjamin media pembawa dinyatakan sehat dan sanitasi baik maka pejabat fungsional dapat menerbitkan sertifikat pelepasan (KH-12) atas disposisi Supervisor.
14.  Sertifikat pelepasan (KH-12) dapat diterbitkan setelah pengguna jasa menyelesaikan kewajiban pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kepada bendahara penerima/petugas pemungut dan penyetor.
15.  Bilamana dalam proses verifikasi terhadap kebenaran isi dokumen, pejabat fungsional menemukan ketidaksesuaian (tidak memenuhi persyaratan dokumen) media pembawa tersebut ditolak pemasukannya (KH-04) dan (KH-8.b) atas disposisi Supervisor.
16.  Media pembawa yang ditolak pemasukannya, dapat dilakukan tindakan penahanan (KH-8a), apabila:
1.      Pengguna jasa menjamin dapat memenuhi persyaratan dokumen dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
2.      Media pembawa tersebut bukan berasal dari negara, area atau tempat yang pemasukannya dilarang.
3.      Pada pemeriksaan diatas alat angkut tidak ditemukan adanya gejala HPHK golongan I dan resiko penularan HPHK golongan II.
17.  Apabila pengguna jasa tidak dapat memenuhi persyaratan dalam batas waktu yang ditentukan, maka media pembawa tersebut ditolak pemasukannya (KH.8b) atas disposisi Supervisor.
18.  Jika media pembawa yang ditolak pemasukannya, tidak segera dibawa ke luar dari wilayah negara Republik Indonesia atau dari area tujuan oleh Pengguna Jasa dalam batas waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam, maka dilakukan pemusnahan oleh pejabat fungsional dengan menerbitkan Berita Acara Pemusnahan (KH-8c) atas disposisi Supervisor.

Standar Operasional Prosedur Pelayanan Pengeluaran
1.      Pengguna jasa mengisi formulir permohonan pemeriksaan karantina (PPK) / KH-01 disertai dengan kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan. Bagi pengguna jasa yang sudah memiliki registrasi PPK on line dapat mengajukan permohonan pemeriksaan karantina melalui media elektronik tanpa harus datang ke Unit pelayanan Karantina Pertanian. Pengguna jasa yang menggunakan PPK on linecukup datang pada saat menyerahkan dokumen asli setelah ketentuan persyaratan secara elektronik terpenuhi.
2.      Operator menginput data dan merekam Permohonan pemeriksaan karantina dalam buku agenda.
3.      Operator menyerahkan permohonan pemeriksaan karantina kepada Supervisor
4.      Supervisor   menganalisa, menyusun dan menugaskan personel sesuai dengan jenjang jabatan pejabat fungsional dengan menerbitkan Surat Penugasan (KH-02).
5.      Pejabat fungsional melakukan penyiapan bahan, peralatan dan fasilitas pelayanan yang diperlukan dalam penyelenggaraan tindakan karantina.
6.      Pejabat fungsional yang diberi surat penugasan melaksanakan pemeriksaan dokumen dan fisik. Pemeriksaan dokumen dilakukan untuk mengetahui kelengkapan, keabsahan dan kebenaran isi dokumen, selanjutnya dilakukan verifikasi terhadap kebenaran isi dokumen melalui pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik juga dilakukan untuk mendeteksi Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK). Pemeriksaan fisik dapat dilakukan, di pintu pengeluaran (exit point).
7.      Untuk media pembawa yang memerlukan pemeriksaan di Instalasi maka pejabat fungsional menandatangani Surat Perintah Masuk Karantina Hewan (KH-07) untuk pemeriksaan lebih lanjut terhadap media pembawa hama penyakit hewan atas disposisi supervisor.
8.      Media pembawa yang masuk instalasi karantina hewan selama pengasingan maka pejabat fungsional dapat melakukan pengamatan, pengambilan sampel dan spesimen untuk pengujian laboratorium serta dapat dilakukan tindakan perlakuan.
9.      Lamanya waktu pengasingan bergantung pada lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pengamatan, pemeriksaan dan perlakuan terhadap media pembawa mengacu pada standar waktu pelayanan yang telah ditetapkan sesuai jenis dan volume media pembawa.
10.  Bilamana media pembawa selama pengasingan dan setelah dilakukan pengamatan, pengujian laboratorium serta dilakukan tindakan perlakuan, pejabat fungsional dapat menjamin media pembawa dinyatakan sehat dan sanitasi baik maka pejabat fungsional dapat menerbitkan Persetujuan Muat (KH-6) ke atas alat angkut atas disposisi Supervisor.
11.  Sertifikat pembebasan (KH-9, KH-10, KH-11) dapat diterbitkan oleh pejabat fungsional setelah pengguna jasa menyelesaikan kewajiban pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kepada bendahara penerima/petugas pemungut dan penyetor.
12.  Bilamana dalam proses verifikasi terhadap kebenaran isi dokumen, pejabat fungsional menemukan ketidaksesuaian (tidak memenuhi persyaratan dokumen) media pembawa tersebut ditolak pengeluarannya (KH-8.b) dan dikembalikan kepada pengguna jasa atas disposisi Supervisor.
Continue reading →

Strategi pembangunan pertanian

0 komentar


            Pengalaman menunjukkan, bahwa secara umum pembangunan masyarakat desa yang dilakukan di desa melalui sektoral mempunyai strategi atau pendekatan yang berbeda-beda. Demikian pula pembangunan dalam sektor pertanian melakukan hal yang sama yaitu pendekatan sub-sektoral. Nasikun dalam Leibo (1995: 97) mengatakan bahwa adanya berbagai strategi atau pendekatan organisasional pembangunan masyarakat desa barangkali merupakan indikasi yang paling jelas, oleh karena strategi-strategi tersebut terbukti telah berkembang lebih di atas dasar akumulasi pengertian keilmuan yang mantap.
            Praktek-praktek pembangunan masyarakat pertanian di pedesaan yang kita kenal selama ini sangat hegemoni yang berparadigma tunggal, yaitu paradigma “struktural fungsional”. Pembangunan masyarakat pertanian yang berparadigma tunggal menggunakan pendekatan teori demokrasi liberal barat, merupakan kesalahan fatal bila diterapkan di Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya lokal, serta sistem sosial-politik dan demokrasi yang labil. Praktik pembangunan masyarakat pedesaan yang berparadigma tunggal, bukan tidak mungkin telah melahirkan ketergantungan-ketergantungan masyarakat pedesaan seperti pemberian bantuan modal petani, baik yang berupa kredit dan subsidi maupun bantuan hibah. Berdasarkan pengalaman proyek-proyek pembangunan berupa kredit dan subsidi maupun bantuan hibah, proyek-proyek pembangunan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, serta kesejahteraan masyarakat seperti proyek pengembangan perkebunan rakyat, perluasan areal tanam dan lain-lain memberikan hibah untuk tahun pertama, lalu kemudian pada tahun-tahun berikutnya bantuan diberikan dalam bentuk kredit. Merupakan suatu anggapan keliru bila bentuk bantuan tersebut diartikan sebagai suatu pemberdayaan masyarakat petani.
            Perumusan strategi atau pendekatan pembangunan masyarakat yang direncanakan
tidak hanya diturunkan dari orientasi-orientasi filosofikal yang menjadi landasannya, akan tetapijuga berdasarkan pengalaman empirik (Nasikun dalam Leibo, 1995). Perumusan strategi dengan landasan filosofikal dan pengalaman empirik itupun belum menjamin keberhasilannya, apabila bukan merupakan perencanaan partisipatif (participatory planning). Strategi-strategi pembangunan pertanian (masyarakat pedesaan) yang dilakukan selama ini hanya sebatas menganjurkan strategi perubahan masyarakat berdasarkan partisipasi luas, akan tetapi tidak pernah dilakukan, meskipun pendekatan pembangunan masyarakat adalah gotong royong. Partisipasi luas yang digalakkan tersebut tidak jarang disertai dengan pemaksaan “halus” (Koentjaraningrat, 1985: 97-105) membedakan partisipasi dalam bentuk aktifitas-aktivitas bersama dalam proyek-proyek pembangunan yang khusus; kedua partisipasi individu di luar aktivitas bersama dalam pembangunan.
            Kedua tipe partisipasi yang digambarkan oleh Koenjaraningrat merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dimana program pembangunan atau proyek yang telah direncanakan di tingkat pusat tanpa melibatkan masyarakat mulai dari diagnosis masalah dan potensi sumber daya, perencanaan program dan pelaksanaan. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa perumusan strategi pembangunan dalam rangka otonomi daerah harus sarat dengan partisipasi. Partisipasi yang dimaksudkan berbeda dengan yang diuraikan Koentjaraningrat, yaitu melibatkan masyarakat desa secara luas dalam pengambilan keputusan-keputusan, mulai dari diagnosis masalah, identifikasi potensi sumber daya, perencanaan program dan penentuan program yang diusulkan hingga ke tingkat daerah, dan sampai pada pelaksanaan program pembangunan serta pengawasan dan evaluasi.
            Namun demikian, pemerintah tetap sebagai kontrol sehingga perencanaan pembangunan yang bottom-up tidak melenceng dari tujuan pembangunan. Pembangunan masyarakat yang direncanakan dari bawah harus menyentuh seluruh masyarakat, dan bukan untuk golongan tertentu. Untuk mengatasi adanya perbedaan-perbedaan, maka perlu dibentuk suatu institusi atau lembaga yang terintegrasi secara normatif pada kondisi yang kompleks secara keseluruhan di berbagai tingkat pelayanan dalam suatu sistem pemerintahan (Parsons, 1964: 76).
            Nasikun dalam Leibo (1995) menglasifikasikan strategi-strategi organisasional pembangunan masyarakat desa menjadi empat strategi yang berlandaskan pendekatan teoritis,yaitu:
1. Strategi pembangunan gotong royong
2. Strategi teknikal professional.
3. Strategi konflik, dan
4. Strategi pembelotan kultural.
            Strategi pembangunan gotong royong asumsi dasarnya adalah paradigma struktural fungsional, dimana strategi ini melibatkan masyarakat sebagai suatu “sistem sosial” yang terdiri atas bagian-bagian terintegrasi secara normatif, dimana tiap-tiap bagian memberikan sumbangan fungsional masing-masingnya bagi pencapaian tujuan masyarakat secara keseluruhan. Demikian pula strategi pembangunan teknikal profesional, bahwa asumsi-asumsi yang melandasi strategi ini tidak berbeda dengan asumsi yang mendasari strategi pembangunan gotong royong. Strategi pembangunan teknikal profesional memandang masyarakat sebagai suatu sistem hubungan sosial yang semakin kompleks, dengan struktur-struktur serta proses-proses kemasyarakatan yang semakin modern.
            Telah diuraikan di atas bahwa pembangunan suatu pertanian juga diwarnai oleh ego sub sektoral, lemahnya koordinasi, dan integrasi antar sub-sektoral serta konsep pemberdayaan masyarakat yang berbeda turut mempengaruhi pola pendekatan pembangunan masyarakat yang digunakan. Berdasarkan fenomena tersebut, sesuai dengan pendapat Nasikun (Leibo, 1995: 111) mengenai perlunya suatu strategi pembangunan berparadigma ganda, yaitu suatu integrasi atau sintesis dari berbagai strategi pembangunan. Strategi yang diusulkan ini secara teoritik sangat realistik, namun yang dilupakan Nasikun bahwa di Indonesia terdapat pola tani yang heterogen, kondisi agroekologi dan agroklimat, kondisi sosial budaya, dan kearifan lokal yang beraneka ragam.
            Dalam rangka pemberlakuan otonomi daerah, maka terjadi pergeseran paradigma kebijaksanaan dan manajemen pembangunan sektoral serta penerapannya. Untuk sektor pertanian, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Pemerintah Provinsi sebagai daerah otonom di bidang pertanian, yang meliputi aspekaspek kebijakan non teknis kelembagaan dalam pelaksanaannya berikut hirarki yang memiliki wewenang untuk mengimplementasikan.
            Menurut Suradisastra (2000) dalam implementasi otonomi daerah sesuai dengan penerapan PP No 25/2000, pada sektor pertanian akan terjadi perubahan paradigma yang salah satunya adalah sentralisasi, akan berubah menjadi desentralisasi dalam konteks pengelolaan wilayah, keuangan, dan proses pengambilan keputusan. Pola pikir dan manajemen berorientasi pusat akan bergeser menjadi pola pikir dan manajemen pengambilan keputusan yang bersifat spesifik wilayah, baik secara teknis dan ekonomis maupun secara sosiokultural, sehingga proses pengambilan keputusan akan melibatkan seluruh komponen pembangunan termasuk masyarakat adat. Melibatkan masyarakat adat yang berperan dalam pengolahan sumber daya pertanian tradisional, mampu menghindarkan timbulnya rural exodus syndrome.
            Strategi pembangunan berparadigma ganda yang diusulkan Nasikun sangat sesuai untuk diterapkan dalam perumusan strategi pembangunan masyarakat desa. Namun demikian strategi tersebut masih perlu disentesiskan lagi berdasarkan keragaman sosial budaya masyarakat setempat. Seluruh komponen pembangunan dituntut untuk mengembangkan suatu sistem komunikasi yang terbuka sehingga dapat menghindari berkembangnya berbagai kelompok dan kepentingan.
            Pergeseran paradigma pembangunan sektoral dan kemungkinan dampak dari implementasi PP 25/2000, serta penerapan strategi pembangunan berparadigma ganda terhadap pembangunan daerah otonom, tentu akan menimbulkan perbedaan persepsi atas misi dan visi pembangunan masyarakat pertanian di pedesaan sehingga diperlukan antisipasi sejak dini.
            Sebagai bentuk antisipasi terhadap dampak aplikasi strategi pembangunan yang direncanakan dari bawah, perlu dibentuk suatu badan perwakilan desa sesuai dengan pasal 104 UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang anggotanya terdiri dari berbagai komponen masyarakat, termasuk masyarakat adat, kelompok kepentingan, dan aparat pemerintah. Badan Perwakilan Desa ini berfungsi penggerak integrasi dari berbagai komponen masyarakat, mengayomi masyarakat adat, membuat peraturan desa, menampung, dan menyalurkan berbagai aspirasi masyarakat, melakukan pengawasan, ikut
serta dalam pelaksanaan pembangunan, penyelenggaraan pemerintah desa, serta mengajukan pertimbangan-pertimbangan lain kepada pemerintah daerah kepada tingkat yang lebih tinggi.

Continue reading →

Modernitas Pembangunan Pertanian

0 komentar


Tinjauan Historis Pembangunan Pertanian
            Berdasarkan sejarah, pembangunan pertanian telah mengalami beberapa tahap atau perkembangan. Secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu zaman sebelum dan sesudah Bimas. Dari kedua zaman tersebut, banyak terjadi perubahaan yang dapat dilihat dari aspek yang ditimbulkanya. Pada masa sebelum Bimas, umumnya masyarakat belum mengenal jenis-jenis padi unggul, sehingga mereka masih menggunakan varietas lokal yang dicirikan dengan umur yang panjang dan produksi yang relatif rendah. Dalam usaha tani, secara umum masyarakat belum menggunakan teknologi yang modern (seperti pupuk, dan obat-obatan).
 Dalam menentukan jenis kegiatan termasuk jenis komoditi yang akan diusahakan, para petani `masih mempunyai kebebasan atau dengan kata lain tidak ada intervensi dari pemerintah. Pada era enam puluhan, pemerintah melalui suatu terobosan guna memacu peningkatan produksi, melaksanakan program Bimas dengan menerapkan beberapa teknologi dalam usaha pertanian yang berlanjut hingga saat ini. Dalam program ini, sudah terlihat adanya suatu bentuk intevensi dari pemerintah dalam pengaturan terhadap kegiatan petani sehingga petani tidak bebas dalam menentukan jenis usaha komoditi yang dilaksanakannya. Pembangunan dengan cara penerapan teknologi yang dikenal dengan revolusi hijau, dimana penerapan teknologi sudah diperkenalkan kepada petani dengan tujuan untuk meningkatkan produksi pangan dan kesejahteraan petani ternyata tidak berhasil dan bahkan menimbulkan perubahan sosial yang bersifat negatif pada masyarakat.

            Modernisasi pertanian adalah suatu perubahan pengelolaan usaha tani dari tradisional ke pertanian yang lebih maju dengan penggunaan teknologi-teknologi baru. Modernisasi dapat diartikan sebagai transformasi yaitu perubahan. Dalam arti yang lebih luas transformasi tidak hanya mencakup perubahan yang terjadi pada bentuk luar, namun pada hakekatnya meliputi bentuk dasar, fungsi, struktur, atau karakteristik suatu kegiatan usaha ekonomi masyarakat (Pranadji, 2000). Modernisasi dapat diartikan sebagai bentuk, ciri, struktur dan kemampuan sistem kegiatan agribisnis dalam menggairahkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan menyehatkan perekonomian masyarakat pelakunya. Dumomt dalam Pranadji (2000)
mengatakan bahwa transformasi atau usaha pertanian dapat disejajarkan dengan transformasi pedesaan. Dipandang dari aspek sosio budaya, transformasi pertanian identik dengan proses modernisasi dan pembangunan masyarakat pertanian di pedesaan. Sayagyo (1985: 10) mengartikan modernisasi suatu masyarakat adalah suatu proses transformasi, yaitu suatu perubahan masyarakat dalam segala aspekaspeknya. Perubahan sosial adalah terjadinya perbedaan dalam aspek kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu (Rusidi, 2000).
Aspek-aspek kehidupan masyarakat itu telah disistematiskan pada stuktur proses sosial. Dimana perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi pada struktur (kebudayan dan kelembagaan) pada pola proses sosial. Menurut Parson, dinamika masyarakat berhubungan dengan perubahan masyarakat. Kemudian, terdapat beberapa unsur yang berinteraksi satu sama lain. Unsur-unsur tersebut adalah:
1. Orientasi manusia terhadap situasi yang melibatkan orang lain.
2. Pelaku yang mengadakan kegiatan dalam masyarakat.
3. Kegiatan sebagai hasil orientasi dan pengolahan pemikiran pelaku tentang bagaimana mencapai cita-cita.
4. Lambang dan sistem perlambangan yang mewujudkan komunikasi dalam mencapai
tujuan. Sehubungan dengan itu sistem sosial merupakan hasil individu, yang terjadi dalam
lingkungan fisik dan sosial.

Continue reading →

Budidaya Cabai

0 komentar


1. Syarat tumbuh tanaman cabai

            Curah hujan ideal untuk tanaman cabai adalah 750-1.250 mm/tahun. Tanaman cabai cocok hidup di daerah dengan kelembaban 70-80% (Kristina, 2011). Suhu ideal untuk tanaman cabai adalah 210-280C (Setiadi, 1986 dalam Kristina). Tanaman cabai cocok ditanam di tempat terbuka dengan penyinaran cahaya matahari 8 jam perhari (Kristina, 2011). Cabai akan tumbuh optimal di tanah regosol dan andosol, cabai membutuhkan tanah yang gembur dan banyak mengandung unsur hara (Khristina, 2011). Tanaman cabai dapat tumbuh pada pH 5-7, tanaman cabai dapat tumbuh optimal pada pH 5,5-6,8. (Khristina 2011).

2. Pengadaan Benih
Keberhasilan produksi cabai merah sangat dipengaruhi oleh kualitas benih yang dapat dicerminkan oleh tingginya produksi, ketahanan terhadap hama dan penyakit serta tingkat adaptasi iklim. Biji benih lebih baik membeli dari distributor atau kios yang sudah dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan kemurnian dan daya kecambahnya (Tjahjadi, 1991 dalam Devi).
3. Pengolahan tanah
Sebelum menanam cabai hendaknya tanah digarap lebih dahulu, supaya tanah-tanah yang padat bisa menjadi longgar, sehingga pertukaran udara di dalam tanah menjadi baik, gas-gas oksigen dapat masuk ke dalam tanah, gas-gas yang meracuni akar tanaman dapat teroksidasi, dan asam-asam dapat keluar dari tanah. Selain itu, dengan longgarnya tanah maka akar tanaman dapat bergerak dengan bebas meyerap zat-zat makanan di dalamnya (Devi, 2010).
4. Penbibitan
Sebelum melakukan pembibitan tanah tanah diairi terlebih dahulu, kemudian penih disebar merata di permukaan tanah. Setelah disebar, benih ditutup dengan tanah, pasir atau pupuk kandang yang halus. Kemudian disiram secara merata, penyiraman dilakukan pada waktu pagi atau sore. (Devi, 2010)
5. Penanaman
Bibit yang telah berumur 15-17 hari atau memiliki 3-4 daun dipindahkan ke lahan yang telah disediakan dengan jarak tanam 50-60 cm.  penanaman bibit sebaiknya dilakukan pada saat sore hari atau pagi hari (Dermawan, 2010 dalam Devi).
6. Pemeliharaan tanaman
Pada bibit atau tanaman nyang mati dilakukan penyulaman. Pemupukan dapat dilakukan 10-14 hari sekali, pupuk yang digunakan adalah campuran Urea, TSP, KECUALI dengan perbandingan 1:1:1 dengan dosis 10 gr/tanaman.
7. Panen
Pemanenan tanaman cabai dapat dilakukan saat tanaman cabai brusia 75-85 hst yang ditandai dengan buah yang berwarna merah menyala, umur pemanenan tergantung pada varietasnya. Pemanena dilakukan dengan cara memetik buah beserta tangkainya agar cabai dapat bertahan lebih lama (Devi, 2010).

Continue reading →

Taksonomi dan Morfologi Cabai

0 komentar

Menurut Simpson (2010), klasifikasi cabai rawit adalah sebagai

berikut :

Kingdom : Plantae

Division : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida

Order : Solanales

Family : Solanaceae

Genus : Capsicum

Species : Capsicum frutescens L.

Seperti tanaman yang lainnya, tanaman cabai mempunyai bagian-bagian tanaman seperti akar, batang, daun, bunga, buah dan biji.

1. Akar

Menurut (Harpenas, 2010 dalam Devi ), cabai adalah tanaman semusim yang berbentuk perdu dengan perakaran akar tunggang. Sistem perakaran tanaman cabai agak menyebar, panjangnya berkisar 25-35 cm. Akar  tanaman cabai tumbuh tegak lurus ke dalam tanah, berfungsi sebagai penegak pohon yang memiliki kedalaman ± 200 cm serta berwarna coklat. Dari akar tunggang tumbuh akar- akar cabang, dari akar cabang tumbuh akar serabut yang berbentuk kecil- kecil dan membentuk masa yang rapat.

2. Batang

Batang utama cabai menurut (Hewindati, 2006 dalam Devi) tegak dan pangkalnya berkayu dengan panjang 20-28 cm dengan diameter 1,5-2,5 cm. Batang percabangan berwarna hijau dengan panjang mencapai 5-7 cm, diameter batang percabangan mencapai 0,5-1 cm. Percabangan bersifat dikotomi atau menggarpu, memiliki Batang berkayu, berbuku-buku.

3. Daun
Daun cabai menurut (Dermawan, 2010 dalam Devi) berbentuk hati , lonjong, atau agak bulat telur dengan posisi berselang-seling. Bagian permukaan daun bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan bagian permukaan bawah berwarna hijau muda atau hijau terang. Panjang daun berkisar 9-15 cm dengan lebar 3,5-5 cm. Selain itu daun cabai merupakan Daun tunggal, bertangkai (panjangnya 0,5-2,5 cm), letak tersebar. Helaian daun bentuknya bulat telur sampai elips, ujung runcing, pangkal meruncing, tepi rata, petulangan menyirip, panjang 1,5-12 cm, lebar 1-5 cm, berwarna hijau.
4. Bunga
Menurut (Hendiwati, 2006 dalam Devi), bunga tanaman cabai berbentuk terompet kecil, umumnya bunga cabai berwarna putih, tetapi ada juga yang berwarna ungu. Cabai berbunga sempurna dengan benang sari yang lepas tidak berlekatan.

Continue reading →

Taksonomi dan Morfologi Terong

0 komentar


Klasifikasi tanaman terong sebagai berikut :
            Kingdom         : Plantae (tumbuhan)
            Subkingdom    : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
            Super Divisi    : Spermatophyta (mengahsilkan biji)
            Divisi               : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
            Kelas               : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
            Sub kelas         : Asteridae
            Ordo                : Solanales
Famili              : Solanaceae (suku terong-terongan)
Genus              : Solanum
Spesies            : Solanum melongena L

Morfologi tanaman terong sebagai berikut:

 Akar

Akar tanaman terong adalah akar tunggang yang dangkal, banyak cabang, dan memiliki buluh yang kasar.

Batang

Batang tanaman terong di bedakal menjadi dua macam, yaitu batang utama (batang primer) dan percabang (batang sekunder). Dalam perkemban perkembangan batang sekunder ini akan mempunyai percabangan baru. Batang utama merupakan penyangga berdirinya tanaman, sedang percabangan adalah bagian tanaman yang mengeluarkan bunga. Batang utama bentuknya persegi (angularis), sewaktu muda berwarna ungu kehijauan, setelah dewasa menjadi ungu kehitaman (Imdad, 2001). 

Daun

Daun terong terdiri atas tangkai daun (petiolus) dan helaian daun (lamina). Daun seperti ini lazim disebut daun bertangkai. Tangkai daun berbentuk slindris dengan sisi agak pipih dan menebal dibagian pangkal, panjang berkisar antara 5-8 cm. Helaian daun terdiri dari ibu tulang daun, terdiri  atas ibu tulang daun, tulang cabang dan urat-urat daun. Ibu tulang daun merupakan perpanjangan dari tangkai daun yang makin mengecil kearah pucuk. Lebar helaian daun 7-9 cm atau lebih sesuai varietasnya. Panjang daun antara 12-20  cm. Bangun daun berupa belah ketupathingga oval, bagian ujung daun tumpul, pangkal daun mruncing, dan sisi bertoreh. 

Bunga

Bunga terong merupakan bunga banci atau bunga berkelamin dua, dalam satu bunga terdapat alat kelamin jantan (benang sari) dan alat kelamin wanita (putik). Bunga seperti ini dinamakan bunga  lengkap. Perhiasan bunga yang dimiliki adalah kelopak bunga, mahkota bunga, dan tangkai bunga.

Buah

Buah terong merupakan buah sejati tuggal dan berdaging tebal, lunak, serta tidak akanpecah bila buah telah masak. Daging buah lunak dan berair. Daging buah ini merupakan bagian yang enak dimakan. 

 Biji


Biji-biji terdapat bebas dalam daging buah. Biji terong sangat mengkilap, berlendir, berbentuk bulat lonjong dan juga berwrna coklat hingga kehitaman.


Continue reading →